Konflik Kendeng : Antara Industrialisasi dan Nasib Petani
Konflik Kendeng
: Antara Industrialisasi dan Nasib Petani
Oleh Aisha Fadhila
Industrialisasi
adalah fenomena yang ditandai oleh pesatnya pembangunan berbagai sektor
industri. Fenomena ini berawal di Inggris pada abad ke-16, lantas diikuti oleh
banyak negara di Asia Tengara, termasuk Indonesia. Memang benar jika
industrialisasi dan pembangunan sektor industri memiliki dampak positif seperti
pemanfaatan tenaga kerja, pembangunan berbagai fasilitas, serta peningkatan
perekonomian nasional ataupun masyarakat di sekitarnya. Bahkan, (Imam Nawawi, 2015) menyebutkan bahwa
keberadaan industri di tengah masyarakat selain akan meningkatkan pola pikir
masyarakatnya juga akan mendukung bagi peningkatan sarana dan prasarana
pendidikan di daerah tersebut. Keberadaan industri memang memiliki berbagai
dampak positif di masyarakat. Akan tetapi, apakah dampak positif itu dapat menyentuh seluruh lapisan
masyarakat?
Ketika
kita berbicara tentang dampak positif industrialisasi dan pembangunan sektor
industri pada masyarakat, sebenarnya masyarakat pada lapisan manakah yang merasakan
dampak positif itu. Apakah hanya masyakakat kelas atas yang dapat menikmatinya?
Bagaimanakah dengan masyarakat kelas menengah ke bawah yang bahkan tidak
memiliki akses terhadap sektor industri, atau misalkan masyarakat agraris yang tidak
mengenal tentang sektor industri dan hanya menggantungkan hidupnya pada
sektor agraris seperti pertanian dan perkebunan? Apakah kehadiran
industrialisasi dan pembangunan sektor industri yang pesat tidak memiliki
dampak negatif terhadap sektor-sektor berbasis lingkungan tersebut, ketika kita
ketahui bersama bahwa dalam proses industri sudah pasti menghasilkan residu, yakni
limbah hasil produksi.
Berbagai
pertanyaan itu nampaknya menggugah kesadaran kita terkait dengan dampak lingkungan
yang akan dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah, terutama kelompok
masyarakat agraris yang menggantungkan hidupnya pada kualitas lingkungan yang
baik. Berbagai krisis lingkungan yang
sangat mungkin terjadi akibat pembangunan sektor industrial di tengah
masyarakat itulah yang dapat mengantarkan kita dalam memahami fenomena konflik
yang dialami oleh masyarakat di daerah Pegunungan Kendeng Utara, tepatnya di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah. Konflik yang terjadi di wilayah ini sebenarnya disebabkan karena adanya
proses
pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia yang kurang disetujui oleh mayoritas masyarakat Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Alasan yang
menjadikan Rembang menjadi wilayah pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen
Indonesia adalah karena menurut (Hidayatullah, 2016), Rembang merupakan salah satu kabupaten
di wilayah Jawa Tengah yang kaya akan kars. Akibatnya, ada beberapa usaha
tambang yang memanfaatkan kars pada daerah ini. Kars adalah perbukitan khas
yang dibentuk oleh batu gamping (Ko, 2015). Keberadaan kars
yang terdapat di Rembang merupakan batuan yang dapat digunakan sebagai bahan
baku pembuatan semen. Salah satu daerah Kabupaten Rembang yang memiliki potensi
tambang kars adalah kawasan Watuputih yang berada di Kecamatan Gunem. Kawasan
Watuputih merupakan kawasan kars yang masuk dalam jajaran pegunungan Kendeng
Utara.
Menurut
(Hidayatullah, 2016), Besarnya permintaan pasar terhadap semen
setiap tahunnya berimplikasi pada naiknya kebutuhan bahan baku semen. Keadaan
tersebut membuat PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk sebagai salah satu
perusahaan BUMN yang memproduksi berbagai jenis semen memiliki keinginan yang
kuat untuk melakukan penambangan batuan kars. Kebutuhan akan bahan baku membuat
PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk berminat untuk melakukan penambangan bahan
baku semen di kawasan Watuputih. Selain kars, unsur lain yang juga menjadi
obyek tambang yang adalah batu gamping dan juga tanah liat. Berbagai tanggapan
muncul di tengah masyarakat terkait dengan pembangunan PT. Semen Indonesia di
Kecamatan Gunem. Tanggapan yang muncul pun beragam, mulai dari mendukung
maupun menolak pembangunan pabrik. Selain masyarakat lokal, pemerintah, PT.
Semen Indonesia, terdapat pula lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang juga
turut berkonflik dalam pembangunan pabrik Semen Indonesia. Mereka semua adalah
para aktor yang terlibat dalam konflik tersebut.
Melalui
penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa pada dasarnya konflik yang
terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat lokal dengan
pihak PT. Semen Indonesia Tbk. Di satu sisi, masyarakat yang menolak adanya
pembangunan pabrik Semen tersebut memiliki ketakutan akan rusaknya lingkungan
mereka karena adanya pembangunan pabrik semen karena mereka masih
menggantungkan hidupnya pada sekor pertanian. Di sisi lain, pihat PT. Semen
Indonesia menginginkan pembangunan tersebut segera terjadi dengan tujuan
memenuhi permintaan pasar akan bahan baku semen. Perbedaan kepentingan ini menyebabkan
konflik yang cukup besar dan sangat dinamis. Akibatnya, konflik ini menjadi suatu
permasalahan bersama dan banyak diketahui oleh khalayak umum, sehingga menjadi konflik
terbuka. Dalam analisis Marx, konflik yang terjadi semacam ini adalah konnflik
kelas yang bersifat vertikal dalam upaya memperebutkan sumber daya alam. Yakni antara
masyarakat lokal dengan pemilik modal, PT. Semen Indonesia. Konflik yang
terjadi semacam ini dapat dianalisis lebih mendalam untuk memetakan
permasalahan yang terjadi serta untuk membangun upaya rekonsiliasi diantara
aktor-aktor yang saling terlibat. Alat analisis pohon konflik dirasa cocok
untuk melakukan pemetaan konflik tersebut. Dimulai dari memetakan sebab-sebab
konflik sebagai akar permasalahan, inti permasalahan (pada batang pohon
konflik) yang menjadikan sebuah konflik tetap berdiri, serta akibat-akibat
daripada konflik yang terjadi.
Pada
fenomena konflik Kendeng, kita dapat melihat bahwa terdapat beberapa akar
permasalahan. Pertama, adanya proses pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen
Indonesia di wilayah pegunungan Kendeng Utara, tepatnya di Kecamatan Gunem,
Kabupaten Rembang, Jawa tengah yang menyebabkan ketakutan warga akan kerusakan
lingkungan yang akan di timbulkan oleh pembangunan pabrik semen tersebut. Kedua
adalah karena kurangnya sosialisasi dari pihak PT. Semen Indonesia kepada
masyarakat lokal terkait pembangunan pabrik semen dan dokumen AMDAL. Ketiga,
pemerintah pun nampak kurang tegas dalam membuat regulasi yang berpihak pada
masyarakat setempat.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
pembangunan pabrik semen dinilai merugikan warga setempat yang notabene
berprofesi sebagai petani. Hal ini dapat terjadi karena pembangunan pabrik
tersebut berada di wilayah yang kaya akan sumber air. Jika pabrik berhasil di
bangun dan beroperasi, sudah pasti sumber air yang ada di sekitar pabrik semen
akan tercemar oleh limbah hasil produksi tersebut. Jika sumber air tercemar,
maka sumber air yang sifatnya vital bagi masyarakat petani kendeng untuk
aktifitas agraria juga akan memburuk bahkan tercemar. Hal ini akan mengancam
kelangsungan pekerjaan dan kehidupan mereka kedepannya, sedangkan mereka juga
tidak memiliki akses menuju sektor industri yang ada. Mereka semata-mata
bergantung hanya pada sektor agraris. Kedua, pihak PT.Semen Indonesia juga
kurang terbuka terkait perencanaan pembangunan mereka dan dokumen AMDAL terkait
pembangunan pabrik kepada masyarakat lokal, sehingga hal ini mendorong terjadinya
salah paham antara keduanya. Di satu sisi masyarakat memiliki ketakutan karena
ancaman dampak lingkungan yang ada, di sisi lain, pihak PT.Semen Indonesia
kurang memberikan sosialisasi terkait hal ini sehingga ketidaktahuan masyarakat
menjadi semakin besar. Ketiga, pemerintah pun terkesan kurang tegas dalam
menyikapi kasus ini. Hal ini juga menambah ketakutan masyarakat terkait rencana
pembangunan pabrik semen di wilayah mereka. Ketiga akar masalah ini menyebabkan
inti konflik yang berupa penolakan masyarakat terhadap pembangunan pabrik semen
oleh PT. Semen Indonesia tidak dapat terselesaikan. Akibatnya, konflik ini
membuat kerekatan antara warga lokal menjadi menurun karena dalam masyarakat
Kendeng sendiri, terbagi menjadi kelompok pendukung dan kelompok yang menolak. (Hidayatullah, 2016) mengatakan bahwa Berbagai perubahan
terjadi terutama pada pola hubungan sosial antara masyarakat pendukung dan
penolak pembangunan pabrik. Salah satu bentuk nyata perubahan ini terlihat
ketika salah satu masyarakat baik pendukung maupun penolak pembangunan pabrik
menyelenggarakan acara atau yang lebih dikenal dengan sebutan hajatan. Selain itu,
adanya demo untuk menolak keberadaan pabrik semen tersebut lantas menyebabkan
para petani menjadi tidak fokus dalam bekerja sehingga berpengaruh terhadap
hasil panen yang mereka hasilkan.
Melalui
pemetaan permasalahan melalui alat analisis pohon konflik, upaya rekonsiliasi
yang dapat ditawarkan antara lain adalah sosialisasi yang terbuka dan
menyeluruh oleh pihak PT. Semen Indonesia, baik kepada masyarakat setempat,
maupun kepada LSM setempat. Keterbukaan terkait dokumen AMDAL yang dimiliki
oleh PT. Semen Indonesia juga dirasa dapat mengurangi salah paham yang terjadi
antara mereka (PT. Semen Indonesia vs. Masyarakat lokal dan LSM setempat). Selain
itu, upaya mediasi dengan mempertimbangkan keinginan dan aspirasi
masyarakat Kendeng juga perlu di lakukan, agar kedua belah pihak mengarah
kepada tahap yang saling memahami antara keduanya. Ketiga, pemerintah harus
menerapkan regulasi yang jelas dan memihak kepada masyarakat setempat disamping
melakukan fungsi pengawasan terhadap operasi PT. Semen Indonesia agar sesuai
dengan unsur konservasi lingkungan. Keempat, barangkali setelah pabrik semen
oleh PT. Semen Indonesia berhasil didirikan dan beroperasi, maka masyarakat
setempat juga perlu diberikan akses kedalam proses produksi tersebut misalnya
sebagai tenaga kerja. PT. Semen Indonesia juga memiliki kewajiban pengabdian
kepada masyarakat setempat dalam upaya pemberdayaan masyarakat setempat melalui CSR, agar
nasib petani di wilayah Kendeng kedepannya tetap dapat diperhitungkan.
Daftar Pustaka
Hidayatullah, U. H. (2016). ANALISIS PETA KONFLIK
PEMBANGUNAN PABRIK PT. SEMEN INDONESIA DI KECAMATAN GUNEM KABUPATEN REMBANG. Solidarity.
Imam Nawawi, Y. R. (2015). Pengaruh Keberadaan
Industri Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Ladagar
Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung. Jurnal Sosietas Vol. 5, No. 2,
2.
Ko, d. R. (2015). Kawasan Kars Sebagai Sistem
Energi. Geomagz Vol. 5 No. 1, 22-25.
Komentar
Posting Komentar