Menganalisis Kesenjangan Sosial di tengah Pandemi

Oleh: Aisha Fadhila dan Amanda Bella

Polemik mengenai pandemi virus corona atau yang akrab dikenal dengan istilah covid-19 nampak mengalami perkembangan yang pesat di Indonesia. Kompleksitas permasalahan seputar covid-19 tidak hanya mencakup masalah kesehatan sebagai problematika utama, tetapi telah berkembang menjadi krisis ekonomi dan sosial di tengah masyarakat. Dapat dikatakan bahwa krisis ini disebabkan karena adanya kebijakan dilematis yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia berupa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai alternatif lain disamping lockdown yang sudah diterapkan oleh berbagai negara. Beberapa waktu lalu, sebagai respons dari adanya pandemi virus corona ini, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk beberapa wilayah di Indonesia yang termasuk dalam kategori zona merah. Kebijakan PSBB ini dinilai lebih cocok untuk diterapkan dibandingkan dengan kebijakan lockdown. Dilansir dari https://kompas.com/, bahwa Deputi V Staf Kepresidenan Republik Indonesia, Jaleswari Pramodhawardani menyampaikan, pemerintah tidak mengambil kebijakan untuk lockdown karena menyesuaikan banyak aspek di masyarakat Indonesia ini sendiri. (Pranita, 2020).
Pada dasarnya, penerapan kebijakan PSBB dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka memutus rantai penularan virus corona dengan cara menghimbau masyarakat untuk hanya beraktivitas di rumah termasuk bekerja di rumah, dan hanya keluar jika memiliki keperluan yang mendesak. Penerapan kebijakan ini memang menyebabkan Pemerintah Indonesia mendapatkan respons positif karena dianggap cepat tanggap dalam menghadapi pandemi ini. Akan tetapi di sisi lain, tidak sedikit pula pihak-pihak yang melayangkan kritik terhadap kebijakan tersebut. Kritik yang dirasa paling santer muncul di masyarakat kurang lebih mencakup dua hal utama. Yang pertama, adalah mengenai cara berkomunikasi pemerintah yang dirasa kurang tepat mengenai PSBB sehingga menyebabkan kebingungan bagi hierarki pemerintahan dibawahnya. Dan yang kedua, adalah mengenai fakta bahwa meskipun kebijakan PSBB ini telah mempertimbangkan aspek di masyarakat, tetapi dalam praktiknya kebijakan tersebut tidak berpihak terhadap kelompok rentan. Berangkat dari asumsi inilah, kemudian banyak dari masyarakat yang mengatakan bahwa penerapan kebijakan PSBB semacam itu justru menyebabkan jurang  kesenjangan yang ada di dalam masyarakat semakin terbuka lebar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia sejatinya memiliki banyak tantangan. Tantangan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor mendasar. Salah satunya adalah fakta bahwa Indonesia adalah negara berkembang dengan ekonomi yang tergolong lemah. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berpenghasilan rendah. Dilansir dari https://mediaindonesia.com, bahwa jumlah penduduk yang berada di level menengah bawah mencapai 115 juta orang atau 45% dari total populasi. Dimana, Mereka yang berada di level tersebut berpotensi naik ke level menengah, atau malah jatuh ke garis kemiskinan. (Avisena, 2020). Angka ini menunjukkan pada kita bahwa jumlah masyarakat miskin sangat mungkin untuk bertambah. Apalagi ditengah kondisi pandemi dan PSBB semacam ini, banyak dari pekerja yang dirumahkan sementara atau bahkan terkena PHK. Disamping itu, tidak sedikit masyarakat yang bergerak di bidang UMKM mengalami pailit karena barang atau jasa yang ditawarkan tidak laku sehingga menimbulkan kerugian yang besar. PSBB yang mengharuskan semua orang yang tidak memiliki kepentingan mendesak untuk tetap di rumah saja, tentu memiliki andil yang cukup besar atas fenomena krisis ini.
Kondisi semacam ini sebenarnya dapat kita lihat melalui kacamata Marx tentang kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan prespektif Marx, masyarakat yang tereksklusi adalah siapa saja yang berkemampuan ekonomi lemah dengan diukur dari tingkat pendapatan yang rendah dan dianggap miskin. Selanjutnya, Marx juga membagi masyarakat menjadi dua golongan yaitu borjuis dan proletar. Dimana, pada umumnya kelompok terekslusi adalah kaum proletar yang merupakan kelompok dengan pendapatan rendah. Dengan adanya pandemi covid-19 dan diterapkannya kebijakan PSBB secara tiba-tiba, hal ini berdampak pada ketidaksiapan masyarakat untuk menjalankan kebijakan tersebut. Dalam hal ini, kaum proletar  atau kelompok miskin adalah kelompok yang paling tidak siap dan dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut. Ketidaksiapan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu rendahnya pendapatan sehingga masyarakat tidak bisa melakukan saving untuk kebutuhan yang tidak terduga. Selain itu, tidak semua orang memiliki privilege untuk dapat bekerja dari rumah. Ketika masyarakat dipaksa untuk bekerja dari rumah dengan adanya kebijakan PSBB, secara tidak langsung pemerintah telah memutus sumber pendapatan bagi masyarakat menengah kebawah yang pekerjaanya tidak bisa dilakukan dari rumah.
Tidak hanya itu, kondisi pandemi dan penerapan PSBB seperti memperlihatkan dengan jelas kepada kita tentang bagaimana kelompok borjuis dapat melakukan apa saja. Sebut saja salah satu fenomena yang kita kenal dengan istilah panic buying dan penimbunan. Dalam kasus ini, kaum borjuis seperti melakukan demonstrasi betapa orang kaya dapat mengakses barang dan jasa dengan mudah. Tidak sampai disitu, kaum borjuis juga melakukan monopoli dengan membeli dan menimbun barang dan jasa untuk diri mereka sendiri tanpa peduli dengan kaum proletar. Selanjutnya, hal ini berdampak terhadap kaum proletar  yang menjadi kesulitan untuk mendapatkan barang dan jasa sebab kenaikan harga dan kelangkaan sumber daya di tengah pandemi. Kondisi ini menyebabkan kaum proletar tidak dapat bertahan terlalu lama dengan adanya kebijakan PSBB, sebab pekerjaan mereka mengharuskan mereka untuk keluar rumah dan rendahnya pendapatan mereka menyebabkan mereka tidak bisa menyimpan uang (saving) untuk masa yang akan datang.
Semakin besarnya kesenjangan yang ada di masyarakat inilah yang mendorong pemerintah untuk melakukan upaya pemerataan. Salah satu respons pemerintah adalah dengan menciptakan jaring pengaman sosial melalui pemberian bantuan sembako dan uang tunai kepada masyarakat yang kurang beruntung. Bantuan tersebut disalurkan melalui pemerintah daerah dengan harapan dapat mendukung kondisi ekonomi masyarakat menengah kebawah selama masa pandemi covid-19. Namun, lagi-lagi solusi tersebut tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan krisis ekonomi dan kesenjangan yang dihadapi masyarakat. Hal tersebut dikarenakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah tidak seluruhnya tepat sasaran. Moral hazard seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme masih banyak ditemui dalam pemberian dana bantuan. Akan tetapi, melalui penciptaan iklim untuk mengetatkan pengawasan terhadap sistem pemberian dana bantuan, barangkali hal ini dapat diminimalisir. Tidak dapat dipungkiri memang, bahwa saat ini Negara Indonesia sedang menghadapi kondisi krisis dan potensi ketimpangan yang semakin membengkak. Tetapi, hal ini dapat direduksi ketika pemerintah sebagai produsen kebijakan dapat benar-benar hadir dalam proses pemerataan pembangunan. Obsesi negara untuk membangun kerajaan ekonomi harus dialihkan menjadi obsesi untuk membangun ekonomi yang berpihak pada isu pemerataan. (Ais/Bel)

Rujukan

Avisena, M. I. (2020, 01 30). Kelas Menengah Berkontribusi Besar Pada Pertumbuhan Ekonomi. Retrieved from https://mediaindonesia.com/: https://mediaindonesia.com/read/detail/286776-kelas-menengah-berkontribusi-besar-pada-pertumbuhan-ekonomi
Pranita, E. (2020, 04 02). Indonesia Tak Pilih Lockdown sebagai Solusi, Ini Alasannya... Retrieved from https://www.kompas.com/: https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/02/110000123/indonesia-tak-pilih-lockdown-sebagai-solusi-ini-alasannya-




Komentar

Postingan Populer